Rabu, 07 Agustus 2013

memori dalam senja dan caramel.

Hey guys! Aku ikut lomba cerpen nih, walau rada ragu ya sama gurunya karena ngasih info yang bener-bener nggak jelas, dan cuma ngasih pengumuman cerpen dan sebagainya, so, I decided to post it here, incase aku nggak jadi ikut lombanya itu, well, setelah judul cerita ini dipermak 10139038 kali, yang awalnya Perempuan Penunggu Senja, sekarang jadi Memori Dalam Senja dan Caramel, let's go! :) 

[nb: credit to a plenty of indie songs, they gave me a lot of ideas, especially, beautiful girl // christian bautista.]

“terlalu banyak kenangan yang tak sanggup kulupakan, tak seorangpun mampu membuatku mengalihkan pandanganku pada setiap senja yang sedang merekah sebelum ia akan tenggelam.”
                Kata-kata itu selalu terngiang-ngiang dikepalaku, ya, akulah perempuan yang selalu mengagumi senja, aku mengucapkan kata-kata itu pada setiap orang yang bertanya kenapa aku selalu meminta untuk pergi ke sebuah tempat dimana aku bisa melihat jelas senja yang merekah sebelum ia tenggelam, ketika aku melihat senja, rasanya mataku tidak ingin berpaling satu dua titik sekalipun, ia mampu membuatku terhipnotis, entah apa yang bisa membuatku seperti ini.
                Kenapa aku bisa menyukai senja? Ceritanya panjang, amat-sangat-panjang. Tidak, tidak, ini bukan sebuah kalimat yang terlalu di-hiperbola-kan, tetapi sebuah fakta, ya, aku memang sang penggemarnya, seperti ada kenangan yang masih menjanggal didalam senja itu, masih betul-betul berada disana, dimulai dari sebuah cinta yang terbentang jarak nan jauh, Tuhan memang sengaja membentangkan jarak diantara kita, agar tak...ah, begini ceritanya.
                Namaku Nena, seorang perempuan biasa yang masih duduk di bangku kelas 3 SMP, aku memang tidak begitu paham betul tentang cinta, jadi, kali ini aku akan ceritakan cinta pertamaku, cinta pertama pada pandangan pertama, saat itu aku tidak percaya pada istilah love at first sight. Aku tak tahu kenapa rasa ini perlahan merambat dan membunuhku, seperti ada sebuah saraf baru yang sedang menjalar di dalam tubuhku, cinta? Haha, entah, rasanya lucu sekali. Aku saja belum mengenal cinta, tetapi kenapa aku bisa cepat-cepat mengambil kesimpulan kepada hal ini.
                Saat itu aku sedang berlibur di kota Paris van Java, ya, Bandung. Kota yang terkenal dengan kota hujannya dan keindahannya, ketika aku sedang duduk di salah satu kedai kopi dengan mac-ku yang terpampang jelas di hadapanku terbuka jelas, aku sedang mengetik sebuah cerita manis (aku juga suka menulis selain mengaggumi senja), terlalu manis mungkin jika aku menulisnya sambil menyeruput kopiku, tiba-tiba datang sebuah laki-laki yang membuat aku hampir overdosis rasa kemanisan, dia duduk di seberangku, dan dia mengambil arah tepat dihadapanku, tepat jelas sekali, sehingga aku bisa mencuri-curi pandang dari balik layar laptopku, dia memesan caramel frappe, sama seperti minumanku, tidak tahu jika dia benar-benar suka atau mengikutiku. Ah, dia hanya orang yang belum kukenal sama sekali, namanya pun, apalagi seluk beluk tentang dirinya, oh, aku sedang dilanda kasmaran. Ketika aku sedang mencuri-curi pandang, tetiba dia juga melihatku, dia terkikik, dan berjalan ke kursiku, badanku seketika bergetar dan keringat dingin mulai membuat telapak tanganku basah setengah mati.
                “Hey, aku lihat kau sedang curi-curi pandang, ada apa?” tanyanya simpul.
                “Ah, t..t..tidak kok, bukannya kamu?” ucapku sambil mengangkat sebelah alis dan terkikik sambil seraya mengepal tanganku karena rasa gemetar yang hebat.
                “Hahaha, justru karena kau mencuri-curi pandang kepadaku, dan juga minuman yang kita pesan sama kan? Hmm oh, ya, namaku Rio, salam kenal, namamu?” katanya sambil menjulurkan tangannya, agak kasar tetapi hangat. Membuatku betah lama-lama berdiam didalam juluran tangannya.
                “Aku Nena, salam kenal juga,” aku melepaskan jabatan tangannya sebelum tanganku menjadi lebih basah lagi dan membuatnya heran setengah mati, seketika saja aku meraih kopiku, dan menyeruputnya. 
                “Kau tinggal dimana?”
                “Aku? Aku hanya merantau kesini, aku tinggal di Bali, kau?”
                “Serius? Aku juga, kapan kira-kira kau akan pulang?”
                “1 minggu lagi, kau?”
                “Sama, nanti kita pulang bareng ya? Gimana?”
                “Hmm, boleh boleh,”
                Dia menulis sesuatu di secarik kertas, dan meninggalkanku, ah, nomor telepon, aku tersenyum simpul, dan memasukannya  kedalam kantong bajuku.
                Keesokan harinya..
                Aku berjalan keliling-keliling komplek, tiba-tiba seseorang mengebelku dari belakang, bel mobil tampaknya.
                “Hey Nen, mau kemana jalan sendiri?” ujarnya sambil menenggerkan kepalanya dengan jelas dari jendela mobil.
                “A..a..aku? Hanya melihat-lihat kesekitar kok, kenapa?” jawabku dengan simpul.
                “Aku mau ke taman, kau mau ikut?”
                “Taman mana?”
                “Sudah, kau mau ikut atau tidak?”
                “Eh, boleh,”
                Aku masuk ke dalam mobilnya, dan menikmati semilir-semilir angin yang mengibaskan poniku. Sekali dua kali aku merapikannya, aku tidak mau terlihat aneh di hadapannya, aku tidak mau terlihat canggung, tetapi apa daya, aku mati dibunuh rasa canggung, aku seperti salah tingkah dan tidak bisa bergerak secara bebas, dia sesekali melirikku, tapi aku pura-pura buang muka, hahaha, Nena, Nena.
                Tiba-tiba mobilnya berhenti, dan aku tersentak. Aku daritadi melamun.
                “Kita sudah sampai!” katanya sambil keluar dari mobil dan membentangkan tangannya, astaga dia menawan sekali.
                “Ah? Ah? Oh sudah sampai, ya,” kataku sambil keluar dari mobil, aku bersender sedikit di kap mobil depannya sambil menikmati pemandangan.
                “Kau belum tahu tempat ini sebelumnya?”
                Aku menggeleng.
                “Tahu begini aku bisa membawa laptopku kesini, bisa mencari inspirasi, kan? Kau tidak bilang sih kalau tempat ini indah, aku kira kau akan mengajakku ke sebuah keramaian, uh, aku benci keramaian asal kau tahu saja!”
                “Sudah, sudah, ternyata kau cerewet juga, ya!” katanya dia tertawa sambil mengacak-ngacak poniku, dan aku membetulkannya kembali. Tiba-tiba mata kita tak sengaja saling bertemu satu sama lain, aku tersipu.
                “Kau cantik sekali, Nen,” ucapnya, entah itu reflek atau memang sengaja agar tidak mengecewakanku.
                “Terima kasih,” jawabku singkat, memang aku harus memujinya kembali?
                Setelah itu kami saling berdiam-diaman satu sama lain, aku menarik tangannya dan berlari ke arah padang yang luas dengan rerumputannya.
                “Kenapa diam saja? Kita kesini untuk menggali kebahagiaan, kan?” jawabku sambil mengedipkan sebelah mataku.
                “Menggali kebahagiaan yang terpendam didalam kedua bola matamu, Nen,” jawabnya, aku baru tahu ternyata dia puitis, puitis sekali.
                “Dan kebahagiaanku tersimpan didalam genggaman erat tanganku, pertama kali kita bertemu, aku sudah mendapatkan sebuah kebahagiaan yang tiba-tiba saja datang perlahan, dan ketika kau mengulurkan tanganmu itu, aku seperti tak pernah ingin melepaskannya, tapi, waktu tak ijinkan untuk tinggal lama-lama didalam kedua genggaman erat tanganmu itu,” jawabku lirih.
                “Andaikan saja..,” dia menghentikan ucapannya.
                “Andaikan apa?”
                “Lupakan, biarkan waktu yang menjawab, Nen,”
                “Kau mau membiarkan waktu menjawab sampai kapan lagi? Bisakah kau mengatakannya? Aku tidak suka pria yang terlalu lama mengulur banyak waktu! Kau sudah punya waktu yang sedang bertengger didepan matamu, kenapa kau masih mau membuangnya jauh-jauh? Buka matamu,”
                “Aku mencintaimu! Puas?”
                Kenapa kau harus sekasar itu, Ri? Satu goresan ini kubilang sudah terlalu dalam,
                Aku melangkah pergi, berlari kecil menjauhinya, aku tidak suka, sungguh aku tidak suka.
                Dia hanya menatapiku dari kejauhan, seakan dia tidak ingin menghampiriku dan berkata satu atau dua kata maaf, tapi, nihil.
                Malam ini aku bertengger didepan jendela kamar, menatapi langit-langit, air mataku meleleh perlahan, kenapa aku merasakan sakit? Kenapa? Aku merasa bodoh, tak bisakah dia mengertikanku sedikit? Aku hanya bisa merasakan tangannya yang seakan masih tersentuh didalam genggaman tanganku, tapi, halusinasi itu membuatku tak bisa tertidur; insomnia.
                “Aku kecewa,” ucapku lirih.
                Dan malam itu, dingin menyergap tulang-tulang rusukku, dan membawaku ke alam tidur..
                Selamat malam, rasa kecewa.
                Pagi itu aku terbangun dengan mata yang agak membengkak, aku berjalan keluar kamar dan aku melihat satu buket bungga bertengger didepan pintu rumah, aku melihat ke sekitar, masih agak gelap, lagipula, siapa yang berniat untuk datang sepagi ini, ya? Ini masih jam 5 pagi. Aku terkikik kecil, sambil menghirup udara segar, menikmati setiap udara melalui celah-celah bumi ini.
                “Siapa, ya?” aku berpikir sejenak, aku tidak mengenal laki-laki lain selain Rio di kota ini, lagipula aku sudah tidak berkomunikasi dengan tetangga sekitar, tapi, apa mungkin?
                Aku duduk di teras depan, menghirup aroma bunga itu, harum sekali, aku menyukainya, aku menyimpannya diatas meja kopi yang kumiliki di teras, aku masuk ke dalam sejenak untuk membuat segelas kopi hangat. Entah, rasanya aku tidak bisa hidup sehari tanpa harus menenggak segelas kopi, hmm.
                Drrrttt…drrrtt…ponselku bergetar, aku berlari ke teras depan untuk meraihnya. Hah? Siapa lagi yang menghubungiku pagi-pagi begini, aku seperti memiliki ayam yang berkokok pagi-pagi dan membuatku tak bisa kembali ke dalam tidur lagi, astaga, kau menganggu indahnya pagiku.
                “Rio?” aku menaruhnya kembali, dan berjalan kedapur, tapi sebelum telpon itu terputus, aku memberhentikan langkahku, dan meraihnya, kemudian berpikir sesaat untuk mengangkatnya, aku mengangkatnya dan membiarkannya berbicara duluan.
                “Nena, aku minta maaf soal kemarin, aku betul-betul tidak bermaksud untuk mengecewakanmu, aku bukan seorang laki-laki sempurna seperti yang biasa kau lihat di novel dan semacamnya, aku adalah aku, tapi, aku tidak ingin mengecewakanmu sekali lagi, aku ingin sekali minta maaf,”
                Aku terdiam di gagang telpon, air mataku menetes kembali, ya, dia memang bukan laki-laki yang sering kujumpa di dalam novel.
                “Tapi, aku ingin menjadi laki-laki yang sering kau baca di dalam novel, atau kau tulis, atau semacamnya. Perfectionist.” kata terakhir yang dia ucapkan sebelum aku memutuskan aliran telpon diantara aku dan dirinya.
                “Bukan seorang laki-laki perfeksionis yang ada di dalam novel, bukan..,” bisikku.
                Bam! Tiba-tiba saja seluruh kenangan itu terulang kembali. Aku menggelengkan kepalaku, dan memilih untuk mematikan kompor, karena termos yang sudah berbunyi sangat nyaring dan memekakkan telingaku.
                Aku menyeduh kopiku, dan berjalan keluar.
                Bunga itu masih bertengger disana, tidak berubah sedikitpun.
                Sama seperti perasaanku, tak akan pernah pudar sampai kapanpun.
                Oh, aku baru menyadari ternyata hujan turun, aku melihat sinar lampu mobil, dan kemudian redup, aku mendengar jejak kaki orang yang berlari-larian di dalam hujan, aku melihat sosok laki-laki memegang payung disusul suara hujan yang amat sangat deras. Dinginnya juga masih menusuk rusuk-rusukku, aku melihat sosoknya melambai-lambaikan tangan ke arahku, aku memicingkan mataku, hah? Rio?
                “Rio?” ucapku dalam kesunyian yang mencekam.
                “Nen..aku minta maaf soal waktu itu,” ucapnya dengan bibir basah yang bergetar, aku seketika saja memeluknya tanpa memikirkan apapun, kubiarkan tubuhku terguyur air hujan. Rasanya aku belum pernah dipeluk satu orangpun dibawah hujan, tapi, aku merasakan dekapannya menghangatkanku, walaupun, aku tahu dirinya juga merasa kedinginan.
                “I think I have a beautiful destiny, I’m so enchanted to meet you, will you be my forever, Nena?”
                Aku mengangguk, dia mengecup keningku secara perlahan, indah sekali..
                “Ayo masuk dulu, Ri, kasihan kamu kedinginan,” aku menggandeng tangannya lagi, sama seperti yang kita lakukan waktu itu di padang rumput.
                “Tunggu, ya, aku buatin kamu minum dulu,” aku berjalan masuk ke dalam.
                “Iya, Nen,” jawabnya singkat, aku melempar senyum simpul, begitu pula juga dirinya.
                Dan begitulah ritual pagi hari kita, berbincang-bincang kecil, dan dia begitu manis, aku tidak pernah menduganya.
                “Nen, sore ini jam 3 ada festival dekat sini, kamu mau kesana?” tawarnya.
                “Oh, ya? Festival apa? Ayo!” ujarku dengan sergap.
                “Festival makanan gitu, yaudah, nanti aku jemput kamu jam 2.45 ya, aku pulang dulu, soalnya aku mau mandi sama bantu-bantu ayah, bye darling,” dia mengecupku di pipi, dan aku betul-betul tak tahu harus berkata apa, pandanganku kosong, menikmati kecupan itu seperti masih berada di pipiku. Aku segera menyadarkan diri, dan melambaikan ke arahnya yang sudah berada di ujung gerbang. Kemudian aku berjalan masuk ke dalam dan mengambil tidur pagi lagi sesaat, aku betul-betul lelah.
                KRRRIIIINGGGG!
                “Astaga sudah jam setengah 3!” aku cepat-cepat bangun, dan menaruh ponselku dengan melemparnya, padahal beberapa misscall sudah tertera di layar, tapi, aku tidak peduli.
                Aku langsung masuk ke kamar mandi dan cepat-cepat membersihkan diri, kemudian, mengeringkan diri dan mengambil beberapa baju di lemari yang aku sukai, kemudian memakai sedikit bedak dan ya, begitulah perempuan.
                Aku menunggu di teras depan, aku baru ingat kalau aku tidak memiliki pulsa,berarti sama dengan aku tidak bisa menghubunginya, kan? Aku memainkan kakiku, dan menit ke menit aku mulai pindah dari satu kursi ke kursi lainnya, lama sekali.
                Tin! Tin! Sebuah mobil hitam kecil bertengger di depan gerbang, aku segera lari ke pagar, dan masuk ke dalam mobilnya.
                “Hey, Ri, sorry kesiangan!” jawabku sambil terkikik.
                “Iya gapapa, darl, tadi aku juga misscall kamu bilang mau dateng agak telat, sih, hehehe,”
                “Oh iya, tempatnya dimana sih, Ri?”
                “Ada deh, ikut aja,” dia mulai memundurkan mobilnya dan memutar balik arah dan lagi-lagi, dia memberiku kejutan. Tapi dia berhenti sejenak, dan menutup mataku dengan kain yang agak tebal namun halus dan harum, entah apa dia memang sengaja memberikan wewangian atau tidak, tapi benar-benar, aku suka sekali aromanya.
                “Jangan dibuka, ya..,”
                Aku mengangguk perlahan, dan tersenyum kecil, kemudian aku merasakan mobil itu melaju ke sebuah tempat yang aku tak tahu berada dimana, dan hatiku berdegup kecil.
                “Taraaaa!” padang-padang itu lagi, tetapi dia meletakkan satu meja yang tak cukup besar dengan bunga-bunga di sekitarnya, dan, aku melihat kopi itu lagi,  caramel frappe? Ah, hahaha. Ini benar-benar mengocok perut.
                “Caramel dan senja, sebuah hal yang membentuk ‘kita’ kan?” ucapnya.
                Aku terpatung disitu, seperti terpaku dan tak bisa menggerakan badanku, aku benar-benar terpukau setengah mati, dia benar-benar seperti type laki-laki yang berada di novel-novel.
                “Rio, bagaimana kau..,” dia meletakkan telunjuknya di bibirku.
                “Karena aku menyayangimu, 3 kalimat itu akan menjawab semua pertanyaan yang akan kau tanyakan saat ini, aku benar-benar menyayangimu, dan, kuntum-kuntum bunga ini, juga akan menjadi salah satu saksi kita, saksi dimana mata kita kini saling bertemu dan mengadu beberapa cinta didalamnya,” dia mengeluarkan beberapa tangkai bunga mawar, putih, aku suka putih.
                “Rio, aku jatuh cinta pada satu-dua kata yang kau ucapkan yang memulai sebuah percakapan dan membuatku tersenyum bodoh, aku jatuh cinta pada satu-dua kedipan matamu yang membuatku takkan pernah bisa berpaling sedikitpun, aku jatuh cinta pada satu-dua gerakan bibirmu yang selalu membuatku menyimpan harapan untuk mengecupnya, aku jatuh cinta pada satu-dua gerakan tanganmu yang ingin terus membuatku mengenggamnya. Bisakah kamu tetap disini bersamaku? Karena aku tak pernah ingin kuntum-kuntum ini menjadi layu dan menceritakan 1001 kisah tentangmu ketika jarak yang membentang ada di antara kita, aku tak ingin punya jarak yang membentang, karena, aku takut aku tak bisa meraihmu lagi, aku tak ingin berpaling, takkan pernah, aku sudah terjebak di dalam hidupmu, sudah tenggelam terlalu dalam, sehingga aku mungkin sekarang sudah berada di dasar, aku tak mau lagi kembali ke atas, karena jika kau berpikir aku tak memiliki oksigen untuk bernafas karena aku terlalu menyelam ke dasar, aku memiliki oksigen di dasar hatimu, yaitu, dirimu,”
                Rio tersenyum, dan menyentuh pipiku, dia menatap mataku dalam-dalam.
                “Tapi, aku takkan bisa mengecupmu, disini,” ucapnya sambil menyentuh bibirku dengan jempolnya, mengusapnya, dan tiba-tiba hati ini hancur berkeping-keping, mendengar kata-kata yang sama sekali tak ingin kudengar itu, aku merasakan kegelapan menghantui diriku, apa maksudmu, Rio?
                “Kenapa?” ucapku lirih dengan air mata yang tak mampu kubendung lagi “lalu bagaimana jika nanti kita bersama, apa kau selamanya tak akan mengecupku di bibir? Aku juga ingin merasakan sayang itu, aku ingin kau membisikkan seluruh kata-kata cintamu tanpa kau harus berkata-kata, tapi?”
                “Aku takut kau takkan bisa mencintaiku lagi, Nena,”
                “Aku akan selalu mencintaimu sampai kapanpun, Rio!”
                “Kita bicarakan nanti saja, kita makan dulu, ya? Jangan nangis, aku benci melihatmu menangis seperti itu,”
                Aku mengikutinya, dan duduk dihadapannya, dengan sebuah candle yang ber-aroma sangat manis, namun, tak sama sekali bisa menyembuhkan kata-kata yang baru saja dia ucapkan.  Nafsu makanku betul-betul menurun, aku hanya meneguk caramel frappe itu, dengan hati yang mencekam dan sendu, ditambah lagi kesunyian diantara kita, aku hanya bisa mendengar bunyi sendok dan garpu yang sedang bekerja dan juga mengisi kesunyian diantara kita.
                “Katakan,” sautku.
                Rio menelan lasagnanya, dan mengelap mulutnya, dia berdeham, dan juga menarik nafas, tunggu, aku belum siap mendengarkan kata-katanya, aku meneguk minumanku kembali.
                “Kamu janji, untuk akan terus mencintaiku?”
                “Aku janji, Rio, aku akan mencintaimu sampai kapanpun,”
                “Aku..aku mengidap HIV/AIDS, Nen,” tiba-tiba suasana memecah menjadi haru biru dan kelam mencekam.
                “A..apa? Bagaimana bisa?” aku menghela nafas, jangan, aku tak mau air mata itu terjatuh kembali, tapi apa daya, terjatuh juga.
                “Aku seorang pengguna narkoba, tetapi, ketika aku menemukanmu di kedai kopi itu, aku melihat sosokmu membuatku sadar, bahwa aku tidak akan bisa menjadi sempurna lagi jika aku terus-terusan menggunakanya, tetapi, aku terlanjur mengidap, kau seorang obat penyadar diantara hal-hal brengsek yang pernah kugunakan itu, Nena,” 
                “Aku kecewa denganmu, darimana kau bisa menggunakan hal-hal itu, Rio!”
                “Hampir seluruh temanku pengguna Nena, sungguh, aku minta maaf,” 
                Aku menggelengkan kepalaku, dan berlari dari padang itu, rasanya jauh sekali untuk mencapai ujung padang-padang itu, seperti jauh, jauh sekali, aku tak bisa melihat pandanganku dengan jelas lagi karena air mata mulai memenuhi kantung  mataku, mereka terjatuh perlahan, dan TAP! Pandanganku hitam, buyar semua duniaku.
                Pandangan putih yang menyilaukan menghiasi mataku, aku berada dirumah sakit? Aku melihat Mama menangisiku, jauh-jauh dari Bali hanya untuk menghampiriku? Ya Tuhan.
                “Ma?” ucapku dengan suara yang serak dan lirih.
                “Nena, kamu sudah sadar nak?” katanya dengan mata sembab.
                “Apa yang terjadi, Ma?” kenapa aku harus menggunakan selang udara?
                “Kamu tidak sadarkan diri sejak pagi tadi, nak, nadi kamu juga sempat berhenti berdenyut selama beberapa jam, untunglah kamu sadar,”
                Hah? Sejak tadi pagi? Bukannya aku tadi pergi bersama Rio?
                “Rio?” ucapku, tiba-tiba saja aku merasakan sebuah kejanggalan yang tak jelas datang dari mana.
                “Rio? Siapa dia, nak?”
                Aku mengambil ponselku, dan mencoba menelponnya, tidak aktif? Kenapa bisa? Aku tidak mimpi kan tadi?
                1 Text Message from Rio.
                Aku segera membukanya, dan terpaku sejenak di layar.
                “Sampai jumpa di atmosfer lain, Nena. Maaf sudah mengecewakanmu terlalu banyak. I love you forever and please always keep that in your mind baby.”
                Nafasku berhenti sejenak, Rio..
Dimanakah semua harapan kita yang kau simpan dibalik senja itu?
Kau bilang kita akan pulang kembali bersama, kan? Dimana kau simpan janjimu itu?
Dimana kau simpan pelukan dan kecupan itu? Karena kini aku sungguh membutuhkannya.
Jangan paksa aku untuk melupakanmu, wahai senjaku. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar