Selasa, 12 Februari 2013

bisikan tengah malam.

Malam itu, aku bersandar dengan angin ditengah hujan, memeluk kakiku, dan menunduk, mengeluarkan bulir-bulir airmata yang aku yakin tak satu orangpun bisa membedakan yang mana bulir-bulir hujan dan yang mana bulir airmataku, aku menyukainya. Karena aku tak berharap satu orangpun tahu akan kesakitanku kecuali dirinya.

Aku bertarung dengan dinginnya malam yang menusuk tulang rusuk dan menembus tubuhku, rasanya menyakitkan, rasanya membunuh, dan lama-lama semakin mati rasa.

Lalu kamu?
Kamu hanya berdiam diri didalam ketenangan yang menghangatkan. Didalam suatu pelukan angin yang mendesir tapi mereka tidak bisa menusuk tulang rusukmu. Dan mereka tidak mampu menarik bulir-bulir kesakitan itu keluar dari bola matamu yang penuh kedustaan.

Apakah mendusta ditengah bumi itu menyenangkan?
Apakah harus mengorbankan diriku?
Apakah harus mengorbankan air mata ini?
Apakah harus? Ah....sudahlah.

Dunia membisikkan doa. Aku membisikkan doa. Kau membisikkan doa. Doa kita tidak akan pernah bisa tersatukan. Karena kita, tak terpaku pada satu tujuan yang dil depannya akan merubah segalanya menjadi suatu kebahagiaan.

Malam demi malam berlalu. Aku masih memandang bintang dilangit. Terbesat kenangan di benakku. Menggores luka amat dalam dihatiku. Dan aku tahu kau pasti selalu mendoakanku. Mendoakanku untuk cepat-cepat enyah dari hidupmu. Akulah penusuk rusukmu.

Bintang saja mungkin suatu saat akan lelah untuk tetap bersinar dilangit. Menyinari sesuatu yang dia cintai. Lalu kau pikir aku akan lebih kuat daripada bintang sehingga kau terus acuhkan aku? Hah.

Lalu kamu pikir bersandiwara itu mudah? Semudah kamu mencintaiku kemudian meninggalkanku tanpa bekas di sudut-sudut malam kelam ini?

Aku tak akan pergi tidur walaupun panah jam yang sudah bergaris lurus berhenti, ataupun tetap berjalan. Aku butuh dirimu agar aku bisa menerobos malam ini.

Sulit rasanya jika angin malam terus membisikanku untuk pergi tidur. Menghipnotisku ke berbagai mimpi yang jalannya entah kemana. Tapi kamu terus datang menggerogoti mimpiku. Dan kau masih ada ketika aku membuka mataku. Kau selalu ada, mendesir-desir seperti angin malam. Dingin. Menyakitkan.

Kau mau berikan aku alasan apalagi? Seribu ucapan telah kau katakan. Sudah semuanya mengalir dari bibirmu agar kau tak ingin berada di sampingku. Tapi aku masih belum bosan untuk terus memaksamu. Walaupun tidak secara langsung. Salahkah?

Apakah susah untuk mengatakan fakta? Apa kau takut jika aku akan menangis? Maaf, tapi aku sudah terlalu bosan jika menangisimu. Memang kau akan tawarkan pundakmu? Memang kau bersedia menyiapkan tanganmu untuk menghapus segala amarah yang telah mencabik dalam hatiku?

Cukup malam yang tahu segalanya.
Cukup angin tempatku bersandar.
Cukup tanah lembut ini tempatku memijakkan kesakitan.
Cukup angin yang menusuk ini mendekap tulang rusukku. Mencengkeramnya hingga mati rasa.

Tunggu saja. Nanti angin malam akan berdesir jika aku sudah tiada. Mencengkeram dirimu hingga mati rasa. Mendorongmu agar kau menangis. Tapi, apakah mungkin? Hati yang sekeras batu itu bisa lapuk karena didekap angin?

Kau mungkin segalanya sayang, tapi kau tak pernah seindah malam.

Biarkan aku tertidur diatas pasir dibanding aku harus tertidur disampingmu.
Biarkan aku tenggelam dilautan, mungkin penuh darah dibanding kau harus menangisiku. Tak perlu sayang.

Anggap saja kecupanmu itu hanya ketidak sengajaan. Walaupun memang tak wajar. Tapi kau tak tahu sedingin apa kecupan air hujan, dia lebih indah daripada kecupanmu sayang.

Tak usah menyalahkan dirimu, sungguh tak perlu.
Kau tak salah, akupun.
Tapi malamlah yang salah, karena dia membuatku merenung kembali ke sejuta kenangan yang sesungguhnya sudah terlelap tenggelam.
Tapi aku tak mau menyalahkan malam, karena dialah tempatku bersandar.
Lalu siapa yang salah? Apakah Tuhan? Hah.
Mungkin sekarang aku harus hilang, lenyap entah kemana, ke pelosok bumi yang lain, menghirup udara yang tak bisa kuhirup bersamaku.
Tapi malampun selalu setia bersamaku, dia selalu ada.

Biarkan kata-kata ini menjadi renungan malam yang panjang.


Yang lebih menyakitkan daripada air matamu yang akan menangisiku :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar