[nb: credit to a plenty of indie songs, they gave me a lot of ideas, especially, beautiful girl // christian bautista.]
“terlalu banyak kenangan yang tak sanggup kulupakan, tak seorangpun
mampu membuatku mengalihkan pandanganku pada setiap senja yang sedang merekah
sebelum ia akan tenggelam.”
Kata-kata itu
selalu terngiang-ngiang dikepalaku, ya, akulah perempuan yang selalu mengagumi senja,
aku mengucapkan kata-kata itu pada setiap orang yang bertanya kenapa aku selalu
meminta untuk pergi ke sebuah tempat dimana aku bisa melihat jelas senja yang
merekah sebelum ia tenggelam,
ketika aku melihat senja, rasanya mataku tidak ingin berpaling satu dua titik
sekalipun, ia mampu membuatku terhipnotis, entah apa yang bisa membuatku
seperti ini.
Kenapa
aku bisa menyukai senja? Ceritanya panjang, amat-sangat-panjang. Tidak, tidak,
ini bukan sebuah kalimat yang terlalu di-hiperbola-kan, tetapi sebuah fakta, ya, aku memang sang
penggemarnya, seperti ada kenangan yang masih menjanggal didalam senja itu,
masih betul-betul berada disana, dimulai dari sebuah cinta yang terbentang
jarak nan jauh, Tuhan memang sengaja membentangkan jarak diantara kita, agar
tak...ah, begini ceritanya.
Namaku
Nena, seorang perempuan biasa yang masih duduk di bangku kelas 3 SMP, aku
memang tidak begitu paham betul tentang cinta, jadi, kali ini aku akan
ceritakan cinta pertamaku, cinta pertama pada pandangan pertama, saat itu aku tidak percaya pada
istilah love at first sight.
Aku tak tahu kenapa rasa ini perlahan merambat dan membunuhku, seperti ada
sebuah saraf baru yang sedang menjalar di dalam tubuhku, cinta? Haha, entah,
rasanya lucu sekali. Aku saja
belum mengenal cinta, tetapi kenapa aku bisa cepat-cepat mengambil kesimpulan
kepada hal ini.
Saat
itu aku sedang berlibur di kota Paris van Java, ya, Bandung. Kota yang terkenal
dengan kota hujannya dan
keindahannya, ketika aku sedang duduk di salah satu kedai kopi dengan
mac-ku yang terpampang jelas di hadapanku terbuka jelas, aku sedang mengetik sebuah
cerita manis (aku juga suka
menulis selain mengaggumi senja), terlalu manis mungkin jika aku
menulisnya sambil menyeruput kopiku, tiba-tiba datang sebuah laki-laki yang membuat aku hampir overdosis
rasa kemanisan, dia duduk di seberangku, dan dia
mengambil arah tepat dihadapanku, tepat jelas sekali, sehingga aku bisa
mencuri-curi pandang dari balik layar laptopku, dia memesan caramel frappe, sama seperti minumanku,
tidak tahu jika dia benar-benar suka atau mengikutiku. Ah, dia hanya orang yang
belum kukenal sama sekali, namanya pun, apalagi seluk beluk tentang dirinya, oh, aku sedang dilanda kasmaran.
Ketika aku sedang mencuri-curi pandang, tetiba dia juga melihatku, dia
terkikik, dan berjalan ke kursiku, badanku seketika bergetar dan keringat dingin mulai membuat telapak
tanganku basah setengah mati.
“Hey,
aku lihat kau sedang curi-curi pandang, ada apa?” tanyanya simpul.
“Ah,
t..t..tidak kok, bukannya kamu?” ucapku sambil mengangkat sebelah alis dan
terkikik sambil seraya
mengepal tanganku karena rasa gemetar yang hebat.
“Hahaha,
justru karena kau mencuri-curi pandang kepadaku, dan juga minuman yang kita pesan sama kan? Hmm
oh, ya, namaku Rio, salam kenal, namamu?” katanya sambil menjulurkan tangannya,
agak kasar tetapi hangat. Membuatku betah lama-lama berdiam didalam juluran
tangannya.
“Aku
Nena, salam kenal juga,” aku melepaskan jabatan tangannya sebelum tanganku menjadi lebih basah lagi dan
membuatnya heran setengah mati, seketika saja aku meraih kopiku, dan
menyeruputnya.
“Kau
tinggal dimana?”
“Aku?
Aku hanya merantau kesini, aku tinggal di Bali, kau?”
“Serius?
Aku juga, kapan kira-kira kau akan pulang?”
“1
minggu lagi, kau?”
“Sama,
nanti kita pulang bareng ya? Gimana?”
“Hmm,
boleh boleh,”
Dia
menulis sesuatu di secarik kertas, dan meninggalkanku, ah, nomor telepon, aku
tersenyum simpul, dan memasukannya
kedalam kantong bajuku.
Keesokan harinya..
Aku berjalan
keliling-keliling komplek, tiba-tiba seseorang mengebelku dari belakang, bel
mobil tampaknya.
“Hey
Nen, mau kemana jalan sendiri?”
ujarnya sambil menenggerkan kepalanya dengan jelas dari jendela mobil.
“A..a..aku?
Hanya melihat-lihat kesekitar kok, kenapa?” jawabku dengan simpul.
“Aku
mau ke taman, kau mau ikut?”
“Taman
mana?”
“Sudah,
kau mau ikut atau tidak?”
“Eh,
boleh,”
Aku
masuk ke dalam mobilnya, dan menikmati semilir-semilir angin yang mengibaskan
poniku. Sekali dua kali aku merapikannya, aku tidak mau terlihat aneh di
hadapannya, aku tidak mau terlihat canggung, tetapi apa daya, aku mati dibunuh
rasa canggung, aku seperti salah tingkah dan tidak bisa bergerak secara bebas,
dia sesekali melirikku, tapi aku pura-pura buang muka, hahaha, Nena, Nena.
Tiba-tiba
mobilnya berhenti, dan aku tersentak. Aku daritadi melamun.
“Kita
sudah sampai!” katanya sambil keluar dari mobil dan membentangkan tangannya,
astaga dia menawan sekali.
“Ah?
Ah? Oh sudah sampai, ya,” kataku sambil keluar dari mobil, aku bersender
sedikit di kap mobil depannya sambil menikmati pemandangan.
“Kau
belum tahu tempat ini sebelumnya?”
Aku
menggeleng.
“Tahu
begini aku bisa membawa laptopku kesini, bisa mencari inspirasi, kan? Kau tidak
bilang sih kalau tempat ini indah, aku kira kau akan mengajakku ke sebuah
keramaian, uh, aku benci keramaian asal kau tahu saja!”
“Sudah,
sudah, ternyata kau cerewet juga, ya!” katanya dia tertawa sambil
mengacak-ngacak poniku, dan aku membetulkannya kembali. Tiba-tiba mata kita tak
sengaja saling bertemu satu sama lain, aku tersipu.
“Kau
cantik sekali, Nen,” ucapnya, entah itu reflek atau memang sengaja agar tidak
mengecewakanku.
“Terima
kasih,” jawabku singkat, memang aku harus memujinya kembali?
Setelah
itu kami saling berdiam-diaman satu sama lain, aku menarik tangannya dan
berlari ke arah padang yang luas dengan rerumputannya.
“Kenapa
diam saja? Kita kesini untuk menggali kebahagiaan, kan?” jawabku sambil
mengedipkan sebelah mataku.
“Menggali
kebahagiaan yang terpendam didalam kedua bola matamu, Nen,” jawabnya, aku baru
tahu ternyata dia puitis, puitis sekali.
“Dan
kebahagiaanku tersimpan didalam genggaman erat tanganku, pertama kali kita
bertemu, aku sudah mendapatkan sebuah kebahagiaan yang tiba-tiba saja datang
perlahan, dan ketika kau mengulurkan tanganmu itu, aku seperti tak pernah ingin
melepaskannya, tapi, waktu tak ijinkan untuk tinggal lama-lama didalam kedua
genggaman erat tanganmu itu,” jawabku lirih.
“Andaikan
saja..,” dia menghentikan ucapannya.
“Andaikan
apa?”
“Lupakan,
biarkan waktu yang menjawab, Nen,”
“Kau
mau membiarkan waktu menjawab sampai kapan lagi? Bisakah kau mengatakannya? Aku
tidak suka pria yang terlalu lama mengulur banyak waktu! Kau sudah punya waktu
yang sedang bertengger didepan matamu, kenapa kau masih mau membuangnya
jauh-jauh? Buka matamu,”
“Aku
mencintaimu! Puas?”
Kenapa kau harus sekasar itu, Ri? Satu
goresan ini kubilang sudah terlalu dalam,
Aku melangkah pergi, berlari kecil menjauhinya,
aku tidak suka, sungguh aku tidak suka.
Dia
hanya menatapiku dari kejauhan, seakan dia tidak ingin menghampiriku dan
berkata satu atau dua kata maaf, tapi, nihil.
Malam
ini aku bertengger didepan jendela kamar, menatapi langit-langit, air mataku
meleleh perlahan, kenapa aku merasakan sakit? Kenapa? Aku merasa bodoh, tak
bisakah dia mengertikanku sedikit? Aku hanya bisa merasakan tangannya yang
seakan masih tersentuh didalam genggaman tanganku, tapi, halusinasi itu
membuatku tak bisa tertidur; insomnia.
“Aku
kecewa,” ucapku lirih.
Dan
malam itu, dingin menyergap tulang-tulang rusukku, dan membawaku ke alam
tidur..
Selamat
malam, rasa kecewa.
Pagi
itu aku terbangun dengan mata yang agak membengkak, aku berjalan keluar kamar
dan aku melihat satu buket bungga bertengger didepan pintu rumah, aku melihat
ke sekitar, masih agak gelap, lagipula, siapa yang berniat untuk datang sepagi
ini, ya? Ini masih jam 5 pagi. Aku terkikik kecil, sambil menghirup udara
segar, menikmati setiap udara melalui celah-celah bumi ini.
“Siapa,
ya?” aku berpikir sejenak, aku tidak mengenal laki-laki lain selain Rio di kota
ini, lagipula aku sudah tidak berkomunikasi dengan tetangga sekitar, tapi, apa
mungkin?
Aku
duduk di teras depan, menghirup aroma bunga itu, harum sekali, aku menyukainya,
aku menyimpannya diatas meja kopi yang kumiliki di teras, aku masuk ke dalam
sejenak untuk membuat segelas kopi hangat. Entah, rasanya aku tidak bisa hidup
sehari tanpa harus menenggak segelas kopi, hmm.
Drrrttt…drrrtt…ponselku
bergetar, aku berlari ke teras depan untuk meraihnya. Hah? Siapa lagi yang
menghubungiku pagi-pagi begini, aku seperti memiliki ayam yang berkokok
pagi-pagi dan membuatku tak bisa kembali ke dalam tidur lagi, astaga, kau
menganggu indahnya pagiku.
“Rio?”
aku menaruhnya kembali, dan berjalan kedapur, tapi sebelum telpon itu terputus,
aku memberhentikan langkahku, dan meraihnya, kemudian berpikir sesaat untuk
mengangkatnya, aku mengangkatnya dan membiarkannya berbicara duluan.
“Nena,
aku minta maaf soal kemarin, aku betul-betul tidak bermaksud untuk
mengecewakanmu, aku bukan seorang laki-laki sempurna seperti yang biasa kau
lihat di novel dan semacamnya, aku adalah aku, tapi, aku tidak ingin
mengecewakanmu sekali lagi, aku ingin sekali minta maaf,”
Aku
terdiam di gagang telpon, air mataku menetes kembali, ya, dia memang bukan
laki-laki yang sering kujumpa di dalam novel.
“Tapi,
aku ingin menjadi laki-laki yang sering kau baca di dalam novel, atau kau
tulis, atau semacamnya. Perfectionist.” kata terakhir yang dia ucapkan sebelum
aku memutuskan aliran telpon diantara aku dan dirinya.
“Bukan
seorang laki-laki perfeksionis yang ada di dalam novel, bukan..,” bisikku.
Bam!
Tiba-tiba saja seluruh kenangan itu terulang kembali. Aku menggelengkan
kepalaku, dan memilih untuk mematikan kompor, karena termos yang sudah berbunyi
sangat nyaring dan memekakkan telingaku.
Aku
menyeduh kopiku, dan berjalan keluar.
Bunga
itu masih bertengger disana, tidak berubah sedikitpun.
Sama
seperti perasaanku, tak akan pernah pudar sampai kapanpun.
Oh,
aku baru menyadari ternyata hujan turun, aku melihat sinar lampu mobil, dan
kemudian redup, aku mendengar jejak kaki orang yang berlari-larian di dalam
hujan, aku melihat sosok laki-laki memegang payung disusul suara hujan yang
amat sangat deras. Dinginnya juga masih menusuk rusuk-rusukku, aku melihat
sosoknya melambai-lambaikan tangan ke arahku, aku memicingkan mataku, hah? Rio?
“Rio?”
ucapku dalam kesunyian yang mencekam.
“Nen..aku
minta maaf soal waktu itu,” ucapnya dengan bibir basah yang bergetar, aku
seketika saja memeluknya tanpa memikirkan apapun, kubiarkan tubuhku terguyur
air hujan. Rasanya aku belum pernah dipeluk satu orangpun dibawah hujan, tapi,
aku merasakan dekapannya menghangatkanku, walaupun, aku tahu dirinya juga
merasa kedinginan.
“I think I have a beautiful destiny, I’m so
enchanted to meet you, will you be my forever, Nena?”
Aku
mengangguk, dia mengecup keningku secara perlahan, indah sekali..
“Ayo
masuk dulu, Ri, kasihan kamu kedinginan,” aku menggandeng tangannya lagi, sama
seperti yang kita lakukan waktu itu di padang rumput.
“Tunggu,
ya, aku buatin kamu minum dulu,” aku berjalan masuk ke dalam.
“Iya,
Nen,” jawabnya singkat, aku melempar senyum simpul, begitu pula juga dirinya.
Dan
begitulah ritual pagi hari kita, berbincang-bincang kecil, dan dia begitu
manis, aku tidak pernah menduganya.
“Nen,
sore ini jam 3 ada festival dekat sini, kamu mau kesana?” tawarnya.
“Oh,
ya? Festival apa? Ayo!” ujarku dengan sergap.
“Festival
makanan gitu, yaudah, nanti aku jemput kamu jam 2.45 ya, aku pulang dulu,
soalnya aku mau mandi sama bantu-bantu ayah, bye darling,” dia mengecupku di pipi, dan aku betul-betul tak tahu
harus berkata apa, pandanganku kosong, menikmati kecupan itu seperti masih
berada di pipiku. Aku segera menyadarkan diri, dan melambaikan ke arahnya yang
sudah berada di ujung gerbang. Kemudian aku berjalan masuk ke dalam dan
mengambil tidur pagi lagi sesaat, aku betul-betul lelah.
KRRRIIIINGGGG!
“Astaga
sudah jam setengah 3!” aku cepat-cepat bangun, dan menaruh ponselku dengan
melemparnya, padahal beberapa misscall sudah tertera di layar, tapi, aku tidak
peduli.
Aku
langsung masuk ke kamar mandi dan cepat-cepat membersihkan diri, kemudian,
mengeringkan diri dan mengambil beberapa baju di lemari yang aku sukai,
kemudian memakai sedikit bedak dan ya, begitulah perempuan.
Aku
menunggu di teras depan, aku baru ingat kalau aku tidak memiliki pulsa,berarti
sama dengan aku tidak bisa menghubunginya, kan? Aku memainkan kakiku, dan menit
ke menit aku mulai pindah dari satu kursi ke kursi lainnya, lama sekali.
Tin!
Tin! Sebuah mobil hitam kecil bertengger di depan gerbang, aku segera lari ke
pagar, dan masuk ke dalam mobilnya.
“Hey,
Ri, sorry kesiangan!” jawabku sambil terkikik.
“Iya
gapapa, darl, tadi aku juga misscall kamu bilang mau dateng agak
telat, sih, hehehe,”
“Oh
iya, tempatnya dimana sih, Ri?”
“Ada
deh, ikut aja,” dia mulai memundurkan mobilnya dan memutar balik arah dan
lagi-lagi, dia memberiku kejutan. Tapi dia berhenti sejenak, dan menutup mataku
dengan kain yang agak tebal namun halus dan harum, entah apa dia memang sengaja
memberikan wewangian atau tidak, tapi benar-benar, aku suka sekali aromanya.
“Jangan
dibuka, ya..,”
Aku
mengangguk perlahan, dan tersenyum kecil, kemudian aku merasakan mobil itu
melaju ke sebuah tempat yang aku tak tahu berada dimana, dan hatiku berdegup
kecil.
“Taraaaa!”
padang-padang itu lagi, tetapi dia meletakkan satu meja yang tak cukup besar
dengan bunga-bunga di sekitarnya, dan, aku melihat kopi itu lagi, caramel frappe? Ah, hahaha. Ini
benar-benar mengocok perut.
“Caramel
dan senja, sebuah hal yang membentuk ‘kita’ kan?” ucapnya.
Aku
terpatung disitu, seperti terpaku dan tak bisa menggerakan badanku, aku
benar-benar terpukau setengah mati, dia benar-benar seperti type laki-laki yang
berada di novel-novel.
“Rio,
bagaimana kau..,” dia meletakkan telunjuknya di bibirku.
“Karena
aku menyayangimu, 3 kalimat itu akan menjawab semua pertanyaan yang akan kau
tanyakan saat ini, aku benar-benar menyayangimu, dan, kuntum-kuntum bunga ini,
juga akan menjadi salah satu saksi kita, saksi dimana mata kita kini saling bertemu
dan mengadu beberapa cinta didalamnya,” dia mengeluarkan beberapa tangkai bunga
mawar, putih, aku suka putih.
“Rio,
aku jatuh cinta pada satu-dua kata yang kau ucapkan yang memulai sebuah
percakapan dan membuatku tersenyum bodoh, aku jatuh cinta pada satu-dua kedipan
matamu yang membuatku takkan pernah bisa berpaling sedikitpun, aku jatuh cinta
pada satu-dua gerakan bibirmu yang selalu membuatku menyimpan harapan untuk
mengecupnya, aku jatuh cinta pada satu-dua gerakan tanganmu yang ingin terus
membuatku mengenggamnya. Bisakah kamu tetap disini bersamaku? Karena aku tak
pernah ingin kuntum-kuntum ini menjadi layu dan menceritakan 1001 kisah
tentangmu ketika jarak yang membentang ada di antara kita, aku tak ingin punya
jarak yang membentang, karena, aku takut aku tak bisa meraihmu lagi, aku tak
ingin berpaling, takkan pernah, aku sudah terjebak di dalam hidupmu, sudah
tenggelam terlalu dalam, sehingga aku mungkin sekarang sudah berada di dasar,
aku tak mau lagi kembali ke atas, karena jika kau berpikir aku tak memiliki
oksigen untuk bernafas karena aku terlalu menyelam ke dasar, aku memiliki
oksigen di dasar hatimu, yaitu, dirimu,”
Rio
tersenyum, dan menyentuh pipiku, dia menatap mataku dalam-dalam.
“Tapi,
aku takkan bisa mengecupmu, disini,” ucapnya sambil menyentuh bibirku dengan
jempolnya, mengusapnya, dan tiba-tiba hati ini hancur berkeping-keping,
mendengar kata-kata yang sama sekali tak ingin kudengar itu, aku merasakan
kegelapan menghantui diriku, apa maksudmu, Rio?
“Kenapa?”
ucapku lirih dengan air mata yang tak mampu kubendung lagi “lalu bagaimana jika
nanti kita bersama, apa kau selamanya tak akan mengecupku di bibir? Aku juga
ingin merasakan sayang itu, aku ingin kau membisikkan seluruh kata-kata cintamu
tanpa kau harus berkata-kata, tapi?”
“Aku
takut kau takkan bisa mencintaiku lagi, Nena,”
“Aku
akan selalu mencintaimu sampai kapanpun, Rio!”
“Kita
bicarakan nanti saja, kita makan dulu, ya? Jangan nangis, aku benci melihatmu
menangis seperti itu,”
Aku
mengikutinya, dan duduk dihadapannya, dengan sebuah candle yang ber-aroma sangat manis, namun, tak sama sekali bisa
menyembuhkan kata-kata yang baru saja dia ucapkan. Nafsu makanku betul-betul menurun, aku hanya
meneguk caramel frappe itu, dengan
hati yang mencekam dan sendu, ditambah lagi kesunyian diantara kita, aku hanya
bisa mendengar bunyi sendok dan garpu yang sedang bekerja dan juga mengisi
kesunyian diantara kita.
“Katakan,”
sautku.
Rio
menelan lasagnanya, dan mengelap mulutnya, dia berdeham, dan juga menarik
nafas, tunggu, aku belum siap mendengarkan kata-katanya, aku meneguk minumanku
kembali.
“Kamu
janji, untuk akan terus mencintaiku?”
“Aku
janji, Rio, aku akan mencintaimu sampai kapanpun,”
“Aku..aku
mengidap HIV/AIDS, Nen,” tiba-tiba suasana memecah menjadi haru biru dan kelam
mencekam.
“A..apa?
Bagaimana bisa?” aku menghela nafas, jangan, aku tak mau air mata itu terjatuh
kembali, tapi apa daya, terjatuh juga.
“Aku
seorang pengguna narkoba, tetapi, ketika aku menemukanmu di kedai kopi itu, aku
melihat sosokmu membuatku sadar, bahwa aku tidak akan bisa menjadi sempurna
lagi jika aku terus-terusan menggunakanya, tetapi, aku terlanjur mengidap, kau
seorang obat penyadar diantara hal-hal brengsek yang pernah kugunakan itu,
Nena,”
“Aku
kecewa denganmu, darimana kau bisa menggunakan hal-hal itu, Rio!”
“Hampir
seluruh temanku pengguna Nena, sungguh, aku minta maaf,”
Aku
menggelengkan kepalaku, dan berlari dari padang itu, rasanya jauh sekali untuk
mencapai ujung padang-padang itu, seperti jauh, jauh sekali, aku tak bisa
melihat pandanganku dengan jelas lagi karena air mata mulai memenuhi
kantung mataku, mereka terjatuh
perlahan, dan TAP! Pandanganku hitam, buyar semua duniaku.
Pandangan
putih yang menyilaukan menghiasi mataku, aku berada dirumah sakit? Aku melihat
Mama menangisiku, jauh-jauh dari Bali hanya untuk menghampiriku? Ya Tuhan.
“Ma?”
ucapku dengan suara yang serak dan lirih.
“Nena,
kamu sudah sadar nak?” katanya dengan mata sembab.
“Apa
yang terjadi, Ma?” kenapa aku harus menggunakan selang udara?
“Kamu
tidak sadarkan diri sejak pagi tadi, nak, nadi kamu juga sempat berhenti
berdenyut selama beberapa jam, untunglah kamu sadar,”
Hah? Sejak tadi pagi? Bukannya aku tadi
pergi bersama Rio?
“Rio?” ucapku,
tiba-tiba saja aku merasakan sebuah kejanggalan yang tak jelas datang dari
mana.
“Rio?
Siapa dia, nak?”
Aku
mengambil ponselku, dan mencoba menelponnya, tidak aktif? Kenapa bisa? Aku
tidak mimpi kan tadi?
1 Text Message from Rio.
Aku segera
membukanya, dan terpaku sejenak di layar.
“Sampai
jumpa di atmosfer lain, Nena. Maaf sudah mengecewakanmu terlalu banyak. I love
you forever and please always keep that in your mind baby.”
Nafasku
berhenti sejenak, Rio..
Dimanakah
semua harapan kita yang kau simpan dibalik senja itu?
Kau bilang
kita akan pulang kembali bersama, kan? Dimana kau simpan janjimu itu?
Dimana kau
simpan pelukan dan kecupan itu? Karena kini aku sungguh membutuhkannya.
Jangan paksa
aku untuk melupakanmu, wahai senjaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar